MAKALAH PKN
PERJANJIAN KERJASAMA PERTAHANAN
INDONESIA-SINGAPURA
POLEMIK
(PRO-KONTRA) YANG TERJADI DI DPR
Nama
:
Kelas :
Tapel 2013-2014
PERJANJIAN KERJASAMA PERTAHANAN
INDONESIA-SINGAPURA
(DEFENCE
COOPERATION AGREEMENT)
Jumat 27 April lalu, pemerintah Indonesia telah menandatangani
perundingan kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA)
dengan Singapura. Perjanjian ini memberikan hak latih bagi militer Singapura di
wilayah Indonesia yang membentang antara Pulau Natuna Besar dan Kepulauan
Anambas. Penandatangan DCA ini dikaitkan dengan penandatanganan perjanjian
ekstradisi kedua negara karena penandatanganan dua perjanjian ini dilakukan
secara bersamaan. Karena itu, sebagian kalangan menilai, penandatangan
kerjasama keamanan dan MTA ini merupakan ‘kompensasi’ yang diminta Singapura
dari Indonesia atas kesediaan negara itu menandatangani perjanjian ekstradisi
yang memang telah lebih 30 tahun ditunggu-tunggu oleh Indonesia.
Sejumlah
hal terkait dengan perjanjian RI-Singapura di atas yang perlu dicermati :
1.
Posisi
Singapura yang bertetangga dengan Indonesia
2.
Singapura,
meski negara kecil, adalah negara industri yang cukup kuat secara politis,
karena merupakan ‘kepanjangan tangan’ AS di Asia Tenggara
3.
Seringnya
Singapura menimbulkan masalah bagi Indonesia
Dalam hal perjanjian ekstradisi kedua negara, di atas kertas
Indonesia mungkin diuntungkan, karena selama ini banyak koruptor Indonesia yang
memang melarikan diri dan memarkir hasil korupsinya di Singapura, dan terkesan
dilindungi negara itu. Dengan perjanjian ekstradisi ini, Singapura bisa
‘dipaksa’ untuk menyerahkan para koruptor itu untuk diadili di Indonesia. Tapi
dalam pelaksanaannya nanti perjanjian ini bisa menjadi ‘percuma’ karena tidak
bisa menjamin uang hasil korupsi—yang diperkirakan mencapai puluhan bahkan
ratusan triliun (misalnya dalam kasus BLBI)—yang diparkir di Singapura itu
kembali ke Indonesia.
I. Latar Belakang Pembuatan perjanjian
Hubungan kerjasama bilateral antara Indonesia dan Singapura sangat erat
karena bukan hanya faktor geografis dari kedua negara yang berdekatan tapi juga
faktor sejarah. Indonesia dan Singapura sebagai negara tetangga yang abadi.
Keamanan dan stabilitas di wilayah ini merupakan kepentingan vital kedua
negara, guna menjamin terlaksananya pembangunan ekonomi, politik, social dan
budaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat kedua negara. Juga
sebagai tindak lanjut dari amanat konstitusi, UU No. 37 Tahun 1999 yang
disahkan seiring dengan rativikasi Pemerintah RI atas Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi
tentang Misi Khusus, New York 1969. Ratifikasi tersebut disahkan oleh UU No. 1
dan No. 2 Tahun 1982 dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Suatu negara dikatakan kuat menurut J. Hans Morgenthau apabila memiliki
unsur-unsur kekuatan negara diantaranya adalah militer yang kuat dan memiliki
kemampuan tempur yang disegani oleh negara lain. Apabila dibandingkan dengan
Singapura, Indonesia memang berbeda. Indonesia masih banyak memiliki
kelemahan-kelemahan. Dari segi sumber daya manusia, kekuatan ekonomi,
pemerintah serta kekuatan pertahanan dan keamanan. Singapura memiliki
keunggulan dibandingkan dengan Indonesia. Namun dari kelemahan yang ada,
Indonesia memiliki keunggulan yang tidak dipunyai Singapura, Sumber daya alam,
jumlah penduduk dan system pertahanan rakyat semesta.
II. Tujuan Pembuatan perjanjian
Perjanjian perjasama pertahanan Indonesia-Singapura bermanfaat untuk
memelihara stabilitas keamanan kawasan dan
akan memudahkan kekuatan militer kedua negara untuk bekerja sama mengatasi
berbagai masalah maupun untuk menangkal setiap ancaman. Kerjasama bilateral di
bidang pertahanan Indonesia-Singapura hanya terbatas pada latihan bersama,
pengumpulan informasi intelijen, memperkuat kontak militer untuk transparansi
dan menghilangkan kecurigaan, atau melawan musuh bersama di perbatasan atau
perairan, seperti penyelundupan, pembajakan, dan"drug trafficking".
Sebagaimana dikatakan Panglima TNI, Dalam upaya pengamanan kawasan Selat
Malaka, Indonesia-Singapura-Malaysia adalah negara yang paling intens
melibatkan militernya untuk melakukan patroli bersama. Stabilitas keamanan di
Indonesia dan Singapura memang sangat berpengaruh atas keamanan kawasan
regional ASEAN. Indonesia adalah negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk
terbesar di Asia Tenggara, sehingga pengaruhnya sangat dominan. Sementara
Singapura meski berpenduduk sekitar 4 juta orang, namun anggaran militernya
adalah yang terbesar di antara negara-negara ASEAN, dan teknologi militernya
adalah yang termaju. Singapura sejak tahun 1970 telah mengalokasikan rata-rata
6 persen dari GDP-nya untuk pengeluaran Pertahanan. Untuk tahun 1998 saja,
belanja militernya 7,3 miliar dolar Singapura, dan negara itu memiliki lebih
dari 200 pesawat tempur modern.
Hasil yang
diharapkan melalui kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura adalah peningkatan
kemampuan militer kedua negara, baik sistem komunikasi, penguasaan
Fighter/Strike Operation, Tactical Trasnport Operation, Helicopter Operation
maupun untuk meningkatkan kemampuan penguasaan alutsista yang lain. Bagi militer Indonesia dan Singapura kerjasama pertahanan ini penting untuk
meningkatkan kemampuan personil militernya dalam melaksanakan operasi
terkoordinasi, Angkatan Darat, Angkatan laut, dan Angkatan udara.
III. Isi Pokok perjanjian
Tiga hal pokok dalam perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement) Indonesia-Singapura, yaitu: Ruang lingkup, kerjasama latihan dan jangka
waktu perjanjian.
A. Lingkup Kerjasama
1. Dialog dan Konsultasi bilateral
secara berkala
2. Pertukaran Intelijen, termasuk
Kontraterorisme.
3. Kerjasama bidang Ilmu Pengetahuan
bidang teknologi
4. Memajukan pengembanga SDM.
5. Pertukaran siswa personel militer.
6. Latihan bersama atau terpisah
(operasi dan logistic) termasuk akses timbal balik ke area
dan fasilitas latihan
7. Kerjasama SAR, penanggulangan
bencana dan bantuan kemanusiaan.
B.
Kerjasama Latihan
1. Pengembangan area dan fasilitas
latihan di Indonesia untuk latihan bersama TNI dan
Singapore Armed Force (SAF) serta
provisi bantuan latihan untuk TNI.
2. Penyedian akses ke wilayah udara dan
laut Indonesia untuk latihan SAF
a. Area Alfa 1: tes kelaikan udara, check penanganan dan
latihan terbang
b. Area Alfa 2: latihan
matra udara
c. Area Bravo :
latihan maneuver laut republic of Singapore Navy (RSN), termasuk
bantuan tembakan laut dan penembakan rudal bersama Republic
of Singapore Air Force (RSAF).
3. Pelaksanaan latihan secara rinci
diatur dalam implementing arrangement (IA).
4. RSAF boleh latihan bersama
Negara-negara ketiga di area Alfa 2 dan area Bravo dengan
seizin Indonesia.
5. Indonesia berhak mengawasi latihan
dengan mengirim observer dan berhak
berpartisipasi dalam latihan
setelah konsultasi teknis dengan pihak-pihak peserta
latihan.
6. Personel
dan peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel dengan
angkatan bersenjata singapura.
C.
Jangka Waktu
1. Berlaku
untuk 25 tahun
2. Para pihak dapat melakukan peninjauan
terhadap Defences Cooperation Agreement
(DCA) maupun IA setiap 6 tahun
sekali setelah masa berlaku awal selama 13 tahun.
3. DCA
dan IA diperbaharui berlakunya selama 6 tahun setelah setiap peninjauan
terkecuali atas kesepakatan
bersama.
iV. Prinsip-prinsip Dalam perjanjian
Saling menguntungkan, yakni dimaksudkan
untuk menjaga kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik kedua negara.
Perjanjian kerjasama
yang bertajuk Defence Cooperation Agreement-DCA itu berlaku selama 25 tahun,
kemudian setelah berjalan 13 tahun setiap 6 tahun perjanjian kerjasama itu
dapat ditinjau kembali. Namun hukum ketatanegaraan Indonesia mensyaratkan bahwa
perjanjian kerjasama dengan negara lain, termasuk perjanjian kerjasama
pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura proses ratifikasinya tetap harus melalui
pembahasan DPR.
V. POLEMIK (PRO-KONTRA) YANG TERJADI DI DPR
Setelah melalui
perdebatan panjang yang cukup melelahkan di media massa, Komisi I DPR RI dalam
rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda (25 Juni) akhirnya
menolak perjanjian DCA. Itu artinya, perjanjian DCA yang ditandatangani di Bali
pada 27 Mei lalu dimentahkan kalangan DPR. Dengan penolakan itu, proses
ratifikasi perjanjian akan memakan waktu yang lebih panjang dan lebih rumit.
Dalam sistem
ketatanegaraan kita, setiap perjanjian internasional harus melibatkan DPR
karena amanat Pasal 11 UUD 1945 menegaskan bahwa presiden dalam membuat
perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat harus dengan persetujuan DPR. Selain UUD 1945, ada
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang mengatur ketentuan ratifikasi perjanjian
internasional lewat pintu DPR.
Pasal 9 ayat 1
UU Nomor 24 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pengesahan perjanjian dengan negara
lain harus melalui undang-undang. Selanjutnya, Pasal 10 memerinci, pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan
dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak
asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; serta
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Dengan dua
dasar hukum itu, putusan untuk mengesahkan perjanjian tersebut ada di tangan
DPR. DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk menolak sebuah perjanjian
jika melanggar prinsip kepentingan nasional, atau menerima apabila hal-hal yang
dimuat dalam perjanjian itu menguntungkan. Jadi, untuk saat ini bola ada di
tangan DPR. Boleh saja Menteri Luar Negeri menyebutkan tidak semua perjanjian
internasional harus disahkan lewat undang-undang karena Pasal 9 ayat 2
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 memberi kemungkinan pengesahan perjanjian
internasional lewat keputusan presiden. Tapi, untuk perjanjian DCA, tampaknya
Pasal 9 ayat 2 tidak bisa dipakai. Kenapa begitu?
Untuk
perjanjian internasional sekelas DCA, pengesahannya tetap harus lewat
undang-undang. Sebab, butir-butir perjanjian DCA, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000, adalah perjanjian internasional yang berkaitan dengan
masalah pertahanan dan keamanan negara yang pasti akan membebani keuangan
negara. Tidak bisa disahkan lewat keputusan presiden. Wacana pengesahan lewat
keppres bukan solusi untuk memecah kebuntuan ratifikasi, justru membuat
pemerintah dan DPR akan berseteru lama. Kalau sampai disahkan lewat keppres,
DPR tak hanya tidak dilibatkan untuk kedua kalinya, tapi peran-peran
konstitusionalnya juga dilecehkan pemerintah.
Persoalan prosedur
Apa sebetulnya
yang dipersoalkan masyarakat dan DPR dalam perjanjian DCA? Selama saya
mengikuti polemik perjanjian DCA, paling kurang saya mencatat ada dua hal yang
dipersoalkan: prosedur dan substansi. Dari awal, beberapa anggota Komisi I DPR
menilai perjanjian DCA cacat prosedur. Sejak perumusan perjanjian, pemerintah
terkesan berjalan sendiri. DPR tidak dilibatkan untuk memberikan masukan
terkait dengan hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu. Seolah-olah peran DPR
hanya penting pada wilayah ratifikasi. Maka DPR kemudian kecewa karena merasa
tidak "diajak" memberikan pandangan tentang perjanjian tersebut.
Menurut saya,
sebaiknya sebelum perjanjian internasional yang kompleks seperti DCA disetujui,
pemerintah harus meminta masukan dari DPR dan masyarakat luas. Sehingga, pada
saat akan diratifikasi, tidak ada kontroversi yang menghambat proses
pengesahan. Karena tidak melalui proses komunikasi politik yang terbuka dengan
DPR dan masyarakat luas, kontroversi kemudian muncul ketika belakangan media massa
baru membuka hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu. Ini yang patut kita
syukuri dari peran media massa. Sebab, sebelumnya masyarakat luas sama sekali
tidak mengetahui hal-ihwal yang ada dalam perjanjian DCA. Kini, setelah isi
perjanjian DCA sudah terbuka luas kepada masyarakat, DPR dituntut mengambil
langkah yang tepat dengan sangat hati-hati: meratifikasi atau menolak.
Di Kepulauan
Riau, masyarakat dan anggota DPRD setempat telah menolak kalau wilayah mereka
dijadikan daerah latihan militer kedua negara. Saya kira DPR juga akan
mengikuti ke mana arah aspirasi masyarakat karena, secara substansi, perjanjian
DCA tidak terlalu menguntungkan posisi pemerintah Indonesia. Misalnya, DCA
hanya memberi akses kepada Singapura untuk melakukan manuver militer di wilayah
Indonesia, seperti melakukan tes kelaikan terbang, pengecekan teknis dan
latihan terbang, menembak dengan peluru tajam dan menembak dengan peluru
kendali (rudal), sampai empat kali latihan dalam setahun.
Dalam
perjanjian DCA juga, angkatan bersenjata Singapura dalam melaksanakan latihan
militer bisa menggandeng negara lain untuk ikut dalam latihan. Siapa negara
lain itu? Dalam naskah perjanjian memang tidak disebutkan negara-negara yang
bisa diajak berlatih bersama. Artinya, DCA membuka peluang bagi negara-negara
sekutu Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah Indonesia.
Karena itu,
perjanjian DCA patut ditolak. Isi perjanjian sebagian besar hanya menguntungkan
militer Singapura. Dengan masa berlaku perjanjian 25 tahun, Indonesia bisa-bisa
tidak mendapatkan keuntungan maksimal dari perjanjian tersebut. TNI hanya punya
kesempatan menggunakan peralatan militer Singapura yang termasuk canggih di
Asia. Seolah-olah hanya karena kepentingan profesionalisme prajurit TNI
menggunakan peralatan tempur, wilayah Indonesia harus "dijual" dengan
harga yang sangat murah. Saya kira di sini siapa pun tidak akan sepakat dengan
jalan berpikir pemerintah. Ini namanya menjual negara.
Perjanjian DCA
adalah perjanjian yang menggadaikan kedaulatan negara. Sebuah pemerintah yang
baik selalu dipaksa menjaga kedaulatan wilayahnya. Konstitusi memberikan hak
seluas-luasnya kepada pemerintah untuk membuat perjanjian internasional dengan
negara lain. Tapi dengan satu syarat tidak merugikan kepentingan nasional dan kedaulatan
atas wilayah. Itu sebabnya, menurut saya, pemerintah harus memikirkan ulang isi
perjanjian tersebut sebelum draf RUU-nya diserahkan kepada DPR untuk dibahas,
karena saya yakin DPR dan masyarakat akan tetap menolak draf RUU DCA kalau isi
perjanjiannya masih terlampau menguntungkan Singapura.
Bukankah dalam
praktek berdiplomasi, kepentingan nasional adalah variabel pokok yang paling
dominan dalam setiap perjanjian internasional? Jadi, selama pemerintah belum
mampu meyakinkan DPR dan masyarakat akan posisi kepentingan nasional kita,
selama itu pula DCA akan tetap ditolak.
DAFTAR PUSTAKA
Banyu Perwita, DR Anak Agung dan DR. Yanyan Mochamad
Yani. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. 2005. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Rezasyah, Teuku. Politik
Luar Negeri Indonesia Antara Idealisme Dan Praktik. 2008. Bandung,
Humaniora.
Hidayat Mardiyanto. Geo-Politik, Teori dan
Stratgei Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan SDA. Surabaya,
Usaha Nasional.
Mas’oed Mohtar. Ilmu Hubungan Internasiona, Disiplin dan Metodologi Dictionary.
LP3ES, Jakarta, 1990.
Sjamsoeddin, Sjafrie, Mayor Jendral. Kerja Sama Pertahanan Indonesia-Singapura Bebas dari Kepentingan
Politik dan Ekonomi, Tempo, Jakarta, Rabu, 25 April 2007.
Taufiq, Muammad, Dibalik
Penolakan DCA (Defence Cooperation Agreement), Harian Suara merdeka, 23
juni 2007.
Sitanggang, Hisar,
Perjanjian pertahanan Indonesia-singapura
siapa diuntungkan?, Senandika Hukum, 10 Mei 2009.
Sangadji, Abdul
Gafur, Alasan Penolakan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation
Agreement)