Sabtu, 15 Juni 2013

gambar



MAKALAH PKN
PERJANJIAN KERJASAMA PERTAHANAN
INDONESIA-SINGAPURA
POLEMIK (PRO-KONTRA) YANG TERJADI DI DPR












 







Nama   :
Kelas  :

Tapel 2013-2014
PERJANJIAN KERJASAMA PERTAHANAN
INDONESIA-SINGAPURA










 
(DEFENCE COOPERATION AGREEMENT)
Jumat 27 April lalu, pemerintah Indonesia telah menandatangani perundingan kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura. Perjanjian ini memberikan hak latih bagi militer Singapura di wilayah Indonesia yang membentang antara Pulau Natuna Besar dan Kepulauan Anambas. Penandatangan DCA ini dikaitkan dengan penandatanganan perjanjian ekstradisi kedua negara karena penandatanganan dua perjanjian ini dilakukan secara bersamaan. Karena itu, sebagian kalangan menilai, penandatangan kerjasama keamanan dan MTA ini merupakan ‘kompensasi’ yang diminta Singapura dari Indonesia atas kesediaan negara itu menandatangani perjanjian ekstradisi yang memang telah lebih 30 tahun ditunggu-tunggu oleh Indonesia.
Sejumlah hal terkait dengan perjanjian RI-Singapura di atas yang perlu dicermati :
1.      Posisi Singapura yang bertetangga dengan Indonesia
2.      Singapura, meski negara kecil, adalah negara industri yang cukup kuat secara politis, karena merupakan ‘kepanjangan tangan’ AS di Asia Tenggara
3.      Seringnya Singapura menimbulkan masalah bagi Indonesia
Dalam hal perjanjian ekstradisi kedua negara, di atas kertas Indonesia mungkin diuntungkan, karena selama ini banyak koruptor Indonesia yang memang melarikan diri dan memarkir hasil korupsinya di Singapura, dan terkesan dilindungi negara itu. Dengan perjanjian ekstradisi ini, Singapura bisa ‘dipaksa’ untuk menyerahkan para koruptor itu untuk diadili di Indonesia. Tapi dalam pelaksanaannya nanti perjanjian ini bisa menjadi ‘percuma’ karena tidak bisa menjamin uang hasil korupsi—yang diperkirakan mencapai puluhan bahkan ratusan triliun (misalnya dalam kasus BLBI)—yang diparkir di Singapura itu kembali ke Indonesia.
I.         Latar Belakang Pembuatan perjanjian
Hubungan kerjasama bilateral antara Indonesia dan Singapura sangat erat karena bukan hanya faktor geografis dari kedua negara yang berdekatan tapi juga faktor sejarah. Indonesia dan Singapura sebagai negara tetangga yang abadi. Keamanan dan stabilitas di wilayah ini merupakan kepentingan vital kedua negara, guna menjamin terlaksananya pembangunan ekonomi, politik, social dan budaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat kedua negara. Juga sebagai tindak lanjut dari amanat konstitusi, UU No. 37 Tahun 1999 yang disahkan seiring dengan rativikasi Pemerintah RI atas Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi tentang Misi Khusus, New York 1969. Ratifikasi tersebut disahkan oleh UU No. 1 dan No. 2 Tahun 1982 dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Suatu negara dikatakan kuat menurut J. Hans Morgenthau apabila memiliki unsur-unsur kekuatan negara diantaranya adalah militer yang kuat dan memiliki kemampuan tempur yang disegani oleh negara lain. Apabila dibandingkan dengan Singapura, Indonesia memang berbeda. Indonesia masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan. Dari segi sumber daya manusia, kekuatan ekonomi, pemerintah serta kekuatan pertahanan dan keamanan. Singapura memiliki keunggulan dibandingkan dengan Indonesia. Namun dari kelemahan yang ada, Indonesia memiliki keunggulan yang tidak dipunyai Singapura, Sumber daya alam, jumlah penduduk dan system pertahanan rakyat semesta.
II.       Tujuan Pembuatan perjanjian
Perjanjian perjasama pertahanan Indonesia-Singapura bermanfaat untuk memelihara stabilitas keamanan  kawasan dan akan memudahkan kekuatan militer kedua negara untuk bekerja sama mengatasi berbagai masalah maupun untuk menangkal setiap ancaman. Kerjasama bilateral di bidang pertahanan Indonesia-Singapura hanya terbatas pada latihan bersama, pengumpulan informasi intelijen, memperkuat kontak militer untuk transparansi dan menghilangkan kecurigaan, atau melawan musuh bersama di perbatasan atau perairan, seperti penyelundupan, pembajakan, dan"drug trafficking".
Sebagaimana dikatakan Panglima TNI, Dalam upaya pengamanan kawasan Selat Malaka, Indonesia-Singapura-Malaysia adalah negara yang paling intens melibatkan militernya untuk melakukan patroli bersama. Stabilitas keamanan di Indonesia dan Singapura memang sangat berpengaruh atas keamanan kawasan regional ASEAN. Indonesia adalah negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, sehingga pengaruhnya sangat dominan. Sementara Singapura meski berpenduduk sekitar 4 juta orang, namun anggaran militernya adalah yang terbesar di antara negara-negara ASEAN, dan teknologi militernya adalah yang termaju. Singapura sejak tahun 1970 telah mengalokasikan rata-rata 6 persen dari GDP-nya untuk pengeluaran Pertahanan. Untuk tahun 1998 saja, belanja militernya 7,3 miliar dolar Singapura, dan negara itu memiliki lebih dari 200 pesawat tempur modern.
Hasil yang diharapkan melalui kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura adalah peningkatan kemampuan militer kedua negara, baik sistem komunikasi, penguasaan Fighter/Strike Operation, Tactical Trasnport Operation, Helicopter Operation maupun untuk meningkatkan kemampuan penguasaan alutsista yang lain. Bagi militer Indonesia dan Singapura kerjasama pertahanan ini penting untuk meningkatkan kemampuan personil militernya dalam melaksanakan operasi terkoordinasi, Angkatan Darat, Angkatan laut, dan Angkatan udara.

III.     Isi Pokok perjanjian
Tiga hal pokok dalam perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement) Indonesia-Singapura, yaitu: Ruang lingkup, kerjasama latihan dan jangka waktu perjanjian. 
A.        Lingkup Kerjasama
1.            Dialog dan Konsultasi bilateral secara berkala
2.            Pertukaran Intelijen, termasuk Kontraterorisme.
3.            Kerjasama bidang Ilmu Pengetahuan bidang teknologi
4.            Memajukan pengembanga SDM.
5.            Pertukaran siswa personel militer.
6.            Latihan bersama atau terpisah (operasi dan logistic) termasuk akses timbal balik ke area
               dan fasilitas latihan
7.            Kerjasama SAR, penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.

B.                 Kerjasama Latihan
1.            Pengembangan area dan fasilitas latihan di Indonesia untuk latihan bersama TNI dan
              Singapore Armed Force (SAF) serta provisi bantuan latihan untuk TNI.
2.            Penyedian akses ke wilayah udara dan laut Indonesia untuk latihan SAF
a.            Area Alfa 1: tes kelaikan udara, check penanganan dan latihan terbang
b.            Area Alfa 2: latihan matra udara
c.             Area Bravo : latihan maneuver laut republic of Singapore Navy (RSN), termasuk
                                      bantuan tembakan laut dan penembakan rudal bersama Republic
                                       of Singapore Air Force (RSAF).
3.            Pelaksanaan latihan secara rinci diatur dalam implementing arrangement (IA).
4.            RSAF boleh latihan bersama Negara-negara ketiga di area Alfa 2 dan area Bravo dengan
               seizin Indonesia.
5.            Indonesia berhak mengawasi latihan dengan mengirim observer dan berhak
               berpartisipasi dalam latihan setelah konsultasi teknis dengan pihak-pihak peserta
               latihan.
6.            Personel dan peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel dengan
               angkatan bersenjata singapura.

C.                 Jangka Waktu
1.                 Berlaku untuk 25 tahun
2.            Para pihak dapat melakukan peninjauan terhadap Defences Cooperation Agreement
              (DCA) maupun IA setiap 6 tahun sekali setelah masa berlaku awal selama 13 tahun.
3.            DCA dan IA diperbaharui berlakunya selama 6 tahun setelah setiap peninjauan
               terkecuali atas kesepakatan bersama.




iV.     Prinsip-prinsip Dalam perjanjian
Saling menguntungkan, yakni dimaksudkan untuk menjaga kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik kedua negara.
Perjanjian kerjasama yang bertajuk Defence Cooperation Agreement-DCA itu berlaku selama 25 tahun, kemudian setelah berjalan 13 tahun setiap 6 tahun perjanjian kerjasama itu dapat ditinjau kembali. Namun hukum ketatanegaraan Indonesia mensyaratkan bahwa perjanjian kerjasama dengan negara lain, termasuk perjanjian kerjasama pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura proses ratifikasinya tetap harus melalui pembahasan DPR.
V. POLEMIK (PRO-KONTRA) YANG TERJADI DI DPR
Setelah melalui perdebatan panjang yang cukup melelahkan di media massa, Komisi I DPR RI dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda (25 Juni) akhirnya menolak perjanjian DCA. Itu artinya, perjanjian DCA yang ditandatangani di Bali pada 27 Mei lalu dimentahkan kalangan DPR. Dengan penolakan itu, proses ratifikasi perjanjian akan memakan waktu yang lebih panjang dan lebih rumit.
Dalam sistem ketatanegaraan kita, setiap perjanjian internasional harus melibatkan DPR karena amanat Pasal 11 UUD 1945 menegaskan bahwa presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat harus dengan persetujuan DPR. Selain UUD 1945, ada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang mengatur ketentuan ratifikasi perjanjian internasional lewat pintu DPR.
Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pengesahan perjanjian dengan negara lain harus melalui undang-undang. Selanjutnya, Pasal 10 memerinci, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; serta pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Dengan dua dasar hukum itu, putusan untuk mengesahkan perjanjian tersebut ada di tangan DPR. DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk menolak sebuah perjanjian jika melanggar prinsip kepentingan nasional, atau menerima apabila hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu menguntungkan. Jadi, untuk saat ini bola ada di tangan DPR. Boleh saja Menteri Luar Negeri menyebutkan tidak semua perjanjian internasional harus disahkan lewat undang-undang karena Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 memberi kemungkinan pengesahan perjanjian internasional lewat keputusan presiden. Tapi, untuk perjanjian DCA, tampaknya Pasal 9 ayat 2 tidak bisa dipakai. Kenapa begitu?
Untuk perjanjian internasional sekelas DCA, pengesahannya tetap harus lewat undang-undang. Sebab, butir-butir perjanjian DCA, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, adalah perjanjian internasional yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan keamanan negara yang pasti akan membebani keuangan negara. Tidak bisa disahkan lewat keputusan presiden. Wacana pengesahan lewat keppres bukan solusi untuk memecah kebuntuan ratifikasi, justru membuat pemerintah dan DPR akan berseteru lama. Kalau sampai disahkan lewat keppres, DPR tak hanya tidak dilibatkan untuk kedua kalinya, tapi peran-peran konstitusionalnya juga dilecehkan pemerintah.
Persoalan prosedur
Apa sebetulnya yang dipersoalkan masyarakat dan DPR dalam perjanjian DCA? Selama saya mengikuti polemik perjanjian DCA, paling kurang saya mencatat ada dua hal yang dipersoalkan: prosedur dan substansi. Dari awal, beberapa anggota Komisi I DPR menilai perjanjian DCA cacat prosedur. Sejak perumusan perjanjian, pemerintah terkesan berjalan sendiri. DPR tidak dilibatkan untuk memberikan masukan terkait dengan hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu. Seolah-olah peran DPR hanya penting pada wilayah ratifikasi. Maka DPR kemudian kecewa karena merasa tidak "diajak" memberikan pandangan tentang perjanjian tersebut.
Menurut saya, sebaiknya sebelum perjanjian internasional yang kompleks seperti DCA disetujui, pemerintah harus meminta masukan dari DPR dan masyarakat luas. Sehingga, pada saat akan diratifikasi, tidak ada kontroversi yang menghambat proses pengesahan. Karena tidak melalui proses komunikasi politik yang terbuka dengan DPR dan masyarakat luas, kontroversi kemudian muncul ketika belakangan media massa baru membuka hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu. Ini yang patut kita syukuri dari peran media massa. Sebab, sebelumnya masyarakat luas sama sekali tidak mengetahui hal-ihwal yang ada dalam perjanjian DCA. Kini, setelah isi perjanjian DCA sudah terbuka luas kepada masyarakat, DPR dituntut mengambil langkah yang tepat dengan sangat hati-hati: meratifikasi atau menolak.
Di Kepulauan Riau, masyarakat dan anggota DPRD setempat telah menolak kalau wilayah mereka dijadikan daerah latihan militer kedua negara. Saya kira DPR juga akan mengikuti ke mana arah aspirasi masyarakat karena, secara substansi, perjanjian DCA tidak terlalu menguntungkan posisi pemerintah Indonesia. Misalnya, DCA hanya memberi akses kepada Singapura untuk melakukan manuver militer di wilayah Indonesia, seperti melakukan tes kelaikan terbang, pengecekan teknis dan latihan terbang, menembak dengan peluru tajam dan menembak dengan peluru kendali (rudal), sampai empat kali latihan dalam setahun.
Dalam perjanjian DCA juga, angkatan bersenjata Singapura dalam melaksanakan latihan militer bisa menggandeng negara lain untuk ikut dalam latihan. Siapa negara lain itu? Dalam naskah perjanjian memang tidak disebutkan negara-negara yang bisa diajak berlatih bersama. Artinya, DCA membuka peluang bagi negara-negara sekutu Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah Indonesia.
Karena itu, perjanjian DCA patut ditolak. Isi perjanjian sebagian besar hanya menguntungkan militer Singapura. Dengan masa berlaku perjanjian 25 tahun, Indonesia bisa-bisa tidak mendapatkan keuntungan maksimal dari perjanjian tersebut. TNI hanya punya kesempatan menggunakan peralatan militer Singapura yang termasuk canggih di Asia. Seolah-olah hanya karena kepentingan profesionalisme prajurit TNI menggunakan peralatan tempur, wilayah Indonesia harus "dijual" dengan harga yang sangat murah. Saya kira di sini siapa pun tidak akan sepakat dengan jalan berpikir pemerintah. Ini namanya menjual negara.
Perjanjian DCA adalah perjanjian yang menggadaikan kedaulatan negara. Sebuah pemerintah yang baik selalu dipaksa menjaga kedaulatan wilayahnya. Konstitusi memberikan hak seluas-luasnya kepada pemerintah untuk membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Tapi dengan satu syarat tidak merugikan kepentingan nasional dan kedaulatan atas wilayah. Itu sebabnya, menurut saya, pemerintah harus memikirkan ulang isi perjanjian tersebut sebelum draf RUU-nya diserahkan kepada DPR untuk dibahas, karena saya yakin DPR dan masyarakat akan tetap menolak draf RUU DCA kalau isi perjanjiannya masih terlampau menguntungkan Singapura.
Bukankah dalam praktek berdiplomasi, kepentingan nasional adalah variabel pokok yang paling dominan dalam setiap perjanjian internasional? Jadi, selama pemerintah belum mampu meyakinkan DPR dan masyarakat akan posisi kepentingan nasional kita, selama itu pula DCA akan tetap ditolak.









DAFTAR PUSTAKA

Banyu Perwita, DR Anak Agung dan DR. Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. 2005. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Rezasyah, Teuku. Politik Luar Negeri Indonesia Antara Idealisme Dan Praktik. 2008. Bandung, Humaniora.
Hidayat Mardiyanto. Geo-Politik, Teori dan Stratgei Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan SDA. Surabaya, Usaha Nasional.
Mas’oed Mohtar. Ilmu Hubungan Internasiona,  Disiplin dan Metodologi Dictionary. LP3ES, Jakarta, 1990.
Sjamsoeddin, Sjafrie, Mayor Jendral. Kerja Sama Pertahanan Indonesia-Singapura Bebas dari Kepentingan Politik dan Ekonomi, Tempo, Jakarta, Rabu, 25 April 2007.
Taufiq, Muammad, Dibalik Penolakan DCA (Defence Cooperation Agreement), Harian Suara merdeka, 23 juni 2007.
 Sitanggang, Hisar, Perjanjian pertahanan Indonesia-singapura siapa diuntungkan?, Senandika Hukum, 10 Mei 2009.
Sangadji, Abdul Gafur, Alasan Penolakan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement)